Kamis, 24 September 2020

Pengalaman Menjadi Orang Bali yang Sesungguhnya

 

Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio

Bali memang bisa menjadi tujuan liburan dengan mengunjungi keindahan alamnya yang selalu menjadi favorit bagi siapapun. Namun, di balik semua itu, apakah kalian tidak tertarik dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali?

Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio menawarkan pengalaman untuk bisa melihat secara langsung kehidupan masyarakat Bali. Tidak hanya sekedar melihat, namun, kita juga berkesempatan untuk menginap sekaligus berinteraksi, dan merasakan secara langsung kegiatan sehari-hari mereka.

Gue kali dapat kesempatan bersama tim Bali Prawara untuk mengunjungi Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio. Ketika memasuki gerbang area ini, kita akan diajak untuk tur mengelilingi rumah adat masyarakat Bali yang dihuni oleh keluarga besar yang terdiri dari lebih dari 3 kepala keluarga dengan ciri khasnya yaitu, terdiri dari Bale Dangin yang posisi selalu di timur. Ruangan ini dibangun dengan konsep terbuka yang ditutup atap dan kelambu saja yang diisi dengan 2 tempat tidur, tempat tidur yang satu berfungsi sebagai tempat tidur yang digunakan oleh keluarga tertua, sedangkan di tempat tidur sebelahnya diisi dengan peralatan upacara (Dari proses kelahiran, remaja, pernikahan, sampai dengan kematian salah satu anggota keluarga). Untuk bangunan yang bernama Bale Daje merupakan rumah tinggal yang dihuni oleh keluarga lainnya. Sedangkan tidak jauh dari Bale Daje dan Dangin terdapat sanggah atau pura keluarga yang dimana semua keluarga dapat menggunakannya untuk sembahyang. Sedangkan di selatan dibangun sebuah dapur yang juga dapat digunakan oleh semua keluarga. Halaman kosong selalu menjadi ciri khas rumah adat Bali di tengah rumah-rumah kecil yang mengelilinginya, khusus untuk di daerah Baturiti ini karena areanya agraris, sehingga dibangun sebuah rumah jineng/ lumbung untuk menyimpan beras hasil panen. Rumah jineng ini dibangun bertingkat, untuk penyimpanan beras sendiri terdapat di bagian atas, sedangkan di bagian bawah dapat digunakan sebagai bale bengong atau ruang tamu untuk menyambut kehadiran tamu maupun tempat untuk berkumpulnya keluarga untuk bercengkrama.

Selama berada di rumah adat Bali ini, kita akan melihat secara langsung aktivitas sehari-hari penghuninya yang alami. Seperti seorang kakek yang tengah duduk santai di bale bengong sambil mengawasi ayam-ayam peliharaan, sedangkan seorang nenek tengah menghaluskan boreh/ param kocok/ lulur dengan bahan-bahan tradisional seperti beras, cengkeh, jahe, lengkuas, dan kunyit dengan menggunakan ulekan. Fungsi dari boreh tersebut adalah untuk menghilangkan pusing dengan cara dioleskan di dahi dan di belakang telinga bawah. Sedangkan untuk menghilangkan capai, maka bahan yang sudah dihaluskan tersebut dapat dioleskan di kedua betis. Konsep rumah adat Bali yang terbuka adalah, karena kelembapan cukup tinggi dan juga berada di ring of fire, sehingga jika terjadi gempa akibat erupsi gunung berapi, maka penduduk akan dengan mudah untuk menyelamatkan diri keluar dari rumah.    

Setelah mengenal filosofi rumah adat Bali beserta dengan aktivitas penduduknya sehari-hari, maka tempat wisata yang berlokasi di Baturiti, Tabanan, Bali ini juga memperkenalkan penulisan aksara Bali yang ditulis atau lebih tepatnya diukir di atas daun lontar. Namun, sebelum melihat proses penulisan aksara Bali, para pengunjung akan disuguhi dengan welcome drink yang terbuat dari teh bunga rosella yang dicampur dengan rempah-rempah khas Bali. Rasanya cukup segar dan sedikit masam karena memang dari bunga rosella itu sendiri yang mempunyai cita rasa masam. Tapi dipastikan minuman tersebut dapat menghilangkan dahaga setelah berkeliling melihat rumah adat Bali.

Rumah Adat Bali yang digunakan untuk nulis Aksara Bali di Rumah Desa

Kembali ke proses penulisan aksara Bali di daun lontar. Di sini langsung didemonstrasikan oleh pemilik Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio yaitu Pak Wayan Sudiantara. Proses penulisannya sendiri menggunakan sebuah pisau kecil yang digoreskan di atas daun lontar. Sedangkan untuk menebalkan tulisan, penduduk setempat menggunakan kemiri bakar sehingga tulisan terbaca lebih jelas. Dan tidak lupa, di sini juga kita akan diberikan oleh-oleh berupa ukiran nama kita di daun lontar yang ditambah dengan uang kepeng sebagai liontin sehingga bisa dijadikan sebuah kalung yang dapat kita kenakan setelahnya.

Ini dia nama gue yang diukir di daun lontar menggunakan aksara Bali

Masih di area yang sama, kita akan merasakan kehangatan penduduk setempat dengan hidangan yang disajikan ala rijsttafel  sebelum melanjutkan tur di area yang memiliki lahan seluas 40 are tersebut. Hidangan yang disajikan secara rijsttafel tersebut terdiri dari nasi dengan beberapa kondimen seperti babi kecap, tum ayam, sate ayam, bakwan jagung, terong basa genap, plecing daun gingseng, ayam sambal bejeg, dan ayam betutu yang dipastikan dapat membuat kita (khususnys gue) ketagihan atau meminta resepnya untuk dimasak kembali di rumah. Namun, jangan khawatir! Karena ternyata mereka juga menyediakan kelas memasak yang dapat dilakukan dengan pemesanan terlebih dahulu. 

“Kami juga memiliki cara tersendiri untuk mencegah virus-virus yang akan menyerang kekebalan imun tubuh. Dengan menggunakan cara tradisional yang dipercaya secara turun temurun. Adapun cara yang dimaksud adalah dengan menggunakan Asepan atau kalau yang modern adalah dupa. Sedangkan Asepan yang kami gunakan adalah jauh sebelum ditemukannya dupa. Dan bahan-bahan yang digunakan antara lain tembakau, batang kayu putih, bunga kemenyan, dupa dengan aroma sesuai selera yang kesemuanya dibakar dan asapnya itulah yang kami percaya sebagai disinfektan alami. Ini merupakan salah satu kearifan lokal yang harus kami pertahankan. Selain sebagai disinfekatan alami, asepan ini juga dapat digunakan untuk upacara namun bahan-bahan yang dibakar akan berbeda.” Ungkap Pak Wayan Sudiantara, Pemilik Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio.  

Selain itu, paket petualangan juga disediakan oleh tempat wisata yang dibuka untuk umum dari tahun 2009 tersebut. Seperti bersepeda berkeliling desa, mengenal sistem irigasi sawah yang masih dijalankan secara tradisional, menanam padi, trekking di persawahan, dan belajar membuat minyak kelapa.

Pembuatan minyak kelapa sendiri yang dilakukan oleh penduduk asli Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio ini membutuhkan sekitar 5 buah kelapa untuk 660 ml. Prosesnya berawal dari pengupasan kelapa yang dilakukan secara tradisional menggunakan batang kelapa yang telah ditajamkan dan ditancapkan di batang kelapa yang lebih besar sehingga berdiri tegak dan siap untuk mengupas kelapa yang dibutuhkan. Kemudian diambil dagingnya, diparut, dan dicampur dengan air matang kemudian diperas di atas wadah yang telah disiapkan. Kemudian didiamkan selama 24 jam di suhu ruangan. Proses ini akan membuat minyak dan air terpisah. Ketika air dan minyak sudah terpisah, maka bisa disaring untuk diambil minyaknya saja yang dapat digunakan untuk memasak. Kegiatan pembuatan minyak kelapa ini biasanya dilakukan oleh para orang tua yang sudah pensiun sebagai pengganti aktivitas sehari-hari.

Trekking di persawahan juga salah satu kegiatan menyenangkan lainnya yang ditawarkan oleh Rumah Desa ini. Dan di jalur trekking sendiri, kita akan dengan mudah menemui pohon kopi. Menurut Pak I Made Mendra Astawa selaku Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi Bali, beliau menjelaskan “Pohon kopi yang ada di sini adalah jenis Robusta yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di mana biji-biji kopi ini merupakan favorit bagi binatang luwak yang otomatis menjadi bahan makanan mereka dan kotoran dari binatang luwak ini yang akan diproses menjadi kopi luwak dan kemudian dipasarkan.”

Yoga pertama gue :D

Tempat wisata yang dapat ditempuh selama satu jam perjalanan dari Denpasar ini juga menyediakan kelas yoga dan meditasi. Selain itu, jika kalian ingin menyelenggarakan pesta pernikahan dengan adat Bali, ulang tahun, gathering, dan acara luar ruangan yang lainnya maka Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio juga dapat menjadi pilihan.

 

Selasa, 08 September 2020

Tirta Empul: Pembersihan Diri di Era Tatanan Baru

 

Melukat/ Pembersihan diri di era baru di Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, Bali


September 2020 – Bulan September 2016 adalah awal gue pindah dari Jakarta ke Bali, secara official, iya, literally gue pindah dari Jakarta ke Bali. Meskipun secara kependudukan gue masih Jakarta, tapi kalau tempat tinggal dan pekerjaan gue sudah sah di Bali. Dan, selama kurun waktu itu gue sudah menjelajahi setiap sudut Pulau Dewata ini. Yakin sudah setiap sudut? Iya, gue yakin untuk tempat-tempat wisatanya, tapi kalau untuk tradisi dan budaya nya yang gue masih minim hehehe.

Betul sekali, jadi selama kurun waktu empat tahun gue belum pernah lihat secara langsung proses pembersihan diri yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali ini. Dan, kesempatan itu akhirnya datang juga, karena kebetulan salah satu teman dari Jakarta yang sudah tinggal lebih lama di Bali dibanding gue, dia mau melakukan proses pembersihan diri yang dia sendiri mengaku kalau ini bukanlah hal yang pertama dia lakukan selama tinggal di Bali.

Singkat cerita, akhirnya gue dan teman gue, berangkat menuju ke Tampaksiring untuk mengantar teman gue yang mau bergabung dalam proses pembersihan diri ala umat Hindu, Bali yang juga pastinya ditemani oleh salah satu teman kita yang asli orang Bali.  

Perjalanan kita tempuh sekitar satu jam dari Denpasar dengan kondisi jalanan yang masih cukup sepi di new normal ini. Sedangkan lokasi yang kita tuju adalah Tirta Empul yang berlokasi di Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Sepanjang perjalanan, teman kita yang asli orang Bali sedikit banyak bercerita mengenai melukat atau proses pembersihan diri yang dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu di Bali. Jadi, untuk proses melukat sendiri dapat dilakukan di beberapa tempat yang memang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh pandita, seorang pemuka agama Hindu yang telah mendapat wangsit akan sebuah tempat yang dapat disucikan untuk persembahyangan. Jadi, selain Tirta Empul, masih banyak lagi tempat-tempat yang bisa digunakan untuk melukat bagi umat Hindu di Bali. Sedangkan untuk proses melukat sendiri akan sangat disarankan dilakukan setiap bulan purnama, yang artinya dapat dilakukan setiap bulan.

Canang/ sesajen yang dipersembahkan oleh peziarah yang hendak melukat


Melukat atau proses pembersihan diri ini dapat dilakukan secara mandiri atau dipimpin oleh seorang pandita. Sedangkan untuk teman gue kali ini dia akan melakukan secara mandiri dengan bantuan dari teman yang asli orang Bali.

Tirta Empul sendiri berarti Sumber Mata Air Suci yang diambil dari sumber mata air yang terletak di dalam pura. Sumber tersebut mengalir ke beberapa kolam untuk proses melukat dan ke kolam ikan yang mengelilingi parimeter luar pura, serta mengalir ke sungai Tukad Pakerisan.

Terdapat tiga kolam yang masing-masing terdiri dari 13 pancuran, 2 pancuran, dan 6 pancuran. Yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda bagi setiap orang yang datang untuk melukat. 13 pancuran yang pertama adalah dipercaya untuk memberikan keselamatan bagi umat Hindu yang akan bepergian jauh (bekerja di luar Bali atau luar Indonesia), supaya diberikan kesehatan, keselamatan, rezeki, dan juga masalah perjodohan. Kolam yang memiliki dua pancuran dipercaya untuk membersihkan diri dari kutukan serta bawaan buruk lahir seseorang. Sedangkan kolam ketiga yang memiliki 6 pancuran dipercaya untuk bisa membersihkan diri dari ilmu hitam, aura mistis, dan dapat membersihkan diri dari penyakit berat yang secara medis tidak dapat diobati.

Salah satu kolam yang berisi 2 pancuran untuk melukat


Di era tatanan baru ini, area yang masih satu lokasi dengan Istana Tampaksiring yang dibangun oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, telah menerapkan protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan di pintu masuk serta wastafel lainnya yang mudah ditemukan di beberapa sudut lokasi. Sedangkan stiker yang bermaksud memperingkatkan para pengunjung atau jemaat yang hendak beribadah juga telah diterapkan di sana sehingga proses jaga jarak juga harus dipatuhi selama berada di dalam area. Selain kolam untuk penyucian diri, area ini juga dilengkapi dengan sebuah Pura yang dikenal dengan Pura Tirta Empul. Para pengunjung yang hanya ingin sekedar melihat-lihat keindahan pura ini juga diperbolehkan dengan mematuhi peraturan yang ada, yaitu dengan mengenakan kamen atau sarung yang telah disediakan di pintu masuk (gratis), serta mematuhi batas-batas yang cukup jelas di area pura.

Salah satu kolam yang berisi 6 pancuran untuk melukat


Di awal lockdown karena pandemi, area Tirta Empul ini tidak melayani publik selama 3 bulan pertama, dan baru dibuka untuk umum pada Juni 2020.

Tiket masuk bagi para pengunjung yang hendak berwisata atau melihat proses melukat akan dikenakan biaya sebesar Rp 30.000 per orang. Sedangkan bagi yang hendak melakukan proses penyucian diri dan sembahyang, maka tidak dikenakan biaya sama sekali. Sangat disarankan untuk membawa baju ganti serta handuk sendiri, dikarenakan area ini tidak menawarkan penyewaan handuk. Loker dan toilet juga tersedia di lokasi yang dapat digunakan oleh peserta yang melakukan melukat.


Untuk video lebih detail bisa cek di youtube gue ya. Yang udah subscribe terima kasih banyak, yang belum sila klik ya :)



Rabu, 02 September 2020

Alas Kedaton, Bali: Masuknya Gratis, Wahananya Seru Abis!

 

Kasih makan monyet-monyet di Alas Kedaton legal selama dalam pengawasan petugas

September 2020 – Jujur seneng banget selama new normal ini akhirnya sudah bisa ngebolang lagi meskipun masih di sekitaran pulau. Kali ini gue dapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu Monkey Forest yang ada di daerah Tabanan, Bali. Kalau dari Denpasar sekitar 35 km, jadi kurang lebih berkendara sekitar 40 menitan. 

Awalnya gue kurang minat sih ketika diajakin sama tim Bali Prawara untuk ke lokasi. Karena gue pikir namanya Monkey Forest ya gitu-gitu aja pasti sama ama yang di Sangeh dan Ubud. Tapi ternyata masuknya gratis dan ada wahananya juga. Jadi selain bisa bercengkrama dengan teman-teman kita yang imut dan cerdas yang juga kadang usil, akhirnya bisa menghabiskan akhir pekan di Alas Kedaton, Tabanan, Bali dengan beberapa permainan yang sedikit adu nyali.

Jadi, luas area di Alas Kedaton ini secara keseluruhan adalah 12 hektar. 6 hektarnya itu adalah hutan lindung, sedangkan 6 hektar sisanya terdiri dari sebuah pura, jalur trekking yang bisa buat jogging, bersepeda, maupun hanya sekedar jalan santai bersama keluarga. Selain itu terdapat juga 202 warung makanan dan toko souvenir. Namun, sayangnya kesemua toko dan warung itu saat ini belum ada yang beroperasi. Kalau dihitung sudah sekitar 6 bulan mereka belum bisa berjualan kembali, karena memang kondisi pandemi ini. Cukup sedih ketika mengetahui keadaan yang sebenarnya, dan dapat info dari petugas Alas Kedaton, mereka yang biasanya berjualan di toko dan warung-warung itu saat ini bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, dll demi untuk melangsungkan perekonomian keluarga. Semoga semuanya segera pulih, amin!

Kebetulan juga selama di Alas Kedaton, gue dan tim Bali Prawara berkesempatan untuk bertemu dan ngobrol langsung dengan Perbekel Desa Kukuh yaitu Bapak I Made Sugianto. Beliau menginformasikan bahwa, wahana yang baru saja diluncurkan untuk umum pada awal Agustus lalu itu antara lain; Flying Fox dengan ketinggian 3 meter dan panjang 70 meter. Dengan ketinggian dan panjang yang tidak terlalu ektrim tersebut beliau berharap dapat digunakan oleh keluarga, baik dari anak-anak sampai orang tua. Sedangkan wahana yang kedua adalah sky/ air bike. Wahana yang ketiga dan yang paling banyak menjadi favorit pengunjung adalah ayunan tradisional Bali. “Di tahun 90-an, Alas Kedaton ini terkenal dengan ayunan tradisional nya, karena hal tersebut kami berinisiatif untuk membangun kembali ayunan yang sama persis ketika di tahun 90-an sehingga bisa memberikan memori tersendiri bagi para pengunjung. Untuk mencoba ketiga wahana tersebut, para pengunjung tidak perlu khawatir merogoh kantung sampai dalam, karena kami hanya memasang harga Rp 20.000 per orang. Harga yang cukup terjangkau bagi para warga yang ingin berekreasi di tengah pandemi.” Ucap Bapak I Made Sugianto, Perbekel Desa Kukuh, Tabanan, Bali.

Ini gue sama Pak Sugianto selaku Perbekel Desa Kukuh, Tabanan Bali


Di lokasi syuting ternyata ketemu dengan Youtuber dari Pelangi Bali (3 orang di kanan)


Si Bapak Sugianto ini ternyata aktif juga lho sebagai seorang Youtuber. Channelnya di Satua Bali Channel

Selain wahana tersebut, kalian juga bisa melihat secara langsung kalong raksasa. Meskipun binatang malam ini termasuk liar, namun di kawasan Alas Kedaton ini sudah cukup jinak bahkan para pengunjung juga dapat berinteraksi secara langsung dengan kalong-kalong tersebut namun dengan arahan dari petugas.

Ini temen baru gue, namanya Miki si Kalong hehehe


Meskipun kegiatan luar ruang, namun Monkey Forest yang berlokasi di Tabanan, Bali ini tetap menerapkan protokol kesehatan bagi pengunjungnya. Mereka menyediakan wastafel yang hands-free dan mudah ditemukan di beberapa titik.

Perlu diketahui, bahwa kera-kera di sini tidak seagresif di tempat lain. Mereka tidak akan dengan mudah merampas barang-barang bawaan pengunjung, namun demi kenyamanan dan keamanan, maka pastikan kalian tetap menjaga barang bawaan dengan sangat hati-hati, ya.

Ini sebenernya sempet gue video-in pas dia nyalain air kerannya, tapi ternyata ga kepencet tombol rekamnya :D


Di era tatanan baru ini, area yang dihuni oleh sekitar 1.400 kera ini dibuka untuk umum khusus di akhir pekan dan libur nasional saja. Jadi, buat yang ada di Bali, pastikan akhir pekan ini dapat berkunjung bersama keluarga tercinta, sedangkan kalian yang di luar Bali dan akan segera berkunjung ke Pulau Dewata ini, jangan sampai ga dimasukkan ke daftar kunjungan ya!


Untuk lebih detailnya sila tonton video gue di youtube ini ya. Jangan lupa subscribe buat yang belum. Kalo yang sudah subscribe, terima kasih banyaaaaak! :)

Kemanapun lo melangkah, please, jangan ninggalin sampah!