Selasa, 16 September 2025

Ziarah, Sejarah, dan Solo Traveling di Selatan Turki

Dari Istanbul ke Selatan: Petualangan Izmir & Efesus

Puas menjelajah Istanbul, gue lanjut perjalanan ke selatan menuju Izmir dengan bus malam. Perjalanan sekitar 8 jam, dan begitu nyampe di terminal, langsung lanjut naik taksi kira-kira 20 menit ke hostel yang udah gue booking. Karena sampai kepagian, gue belum bisa check-in, jadi titip barang dulu dan langsung tancap gas ke Efesus yang ada di Selçuk.


Menuju Selçuk

Dari Izmir ke Selçuk paling enak naik kereta biasa, bukan metro. Kalau metro rutenya ribet, harus transit, dan jadi lebih lama. Sementara kereta biasa langsung berhenti di stasiun Selçuk, murah, dan cuma butuh sekitar sejam.


Museum Artemis (Ephesus Archaeological Museum)


Museum Artemis (Ephesus Archaeological Museum)

Sebelum ke Efesus, gue sempet mampir ke Museum Artemis/Efes Müzesi di Selçuk. Dari statius Selcuk deket banget, walking distance aja. 

  • Apa yang bisa dilihat: Koleksi paling ikonik tentu patung Artemis Ephesus dengan detail atribut unik di tubuhnya. Ada juga artefak dari Terrace Houses, patung-patung Romawi, koin kuno, serta fragmen arsitektur. Museum ini juga punya satu hall khusus tentang Temple of Artemis, salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno.
  • Suasananya adem, cocok buat rehat sebentar dari panasnya jalan. Walau ukurannya nggak besar, koleksinya “berat” dalam sejarah.

Setelah selesai di mueum Artemis, gue pilih jalan kaki aja sekitar 5 km ke Efesus. Lumayan sekalian workout, ngitung steps, plus bisa mampir ke beberapa spot di jalan. Trotoarnya aman, petunjuknya jelas, jadi no worries nyasar. Lucunya, ada abang sopir taksi kuning yang nyamperin dan nawarin tumpangan gratis. Awalnya gue nolak, tapi dia maksa baik-baik, ya akhirnya gue terima. Rejeki anak solo traveler, kan? Makasih Abang Taksi Kuning! 

 

Efesus (Ephesus), Turki

Efesus (Ephesus)

Efesus adalah salah satu situs arkeologi paling terkenal di Turki. Tiket masuknya sekitar 400 lira (±Rp230.000) per orang. Begitu masuk, rasanya kayak dilempar ke masa lalu.

  • Jalan utama Curetes Street masih dilapisi marmer besar dengan pilar dan patung di sampingnya.
  • Perpustakaan Celsus jadi highlight, fasad megahnya masih berdiri kokoh. Dulu di sini tersimpan lebih dari 12.000 gulungan naskah.
  • Teater Besar bisa menampung 25.000 orang, dan menurut Kisah Para Rasul, di sinilah Paulus pernah berkhotbah.
  • Ada juga Temple of Hadrian, pemandian umum, rumah-rumah mewah (Terrace Houses), dan reruntuhan pasar kuno.

Selain penting secara sejarah Romawi, Efesus juga punya arti besar untuk iman Kristen. Di dekat sini ada Basilika Santo Yohanes dan Rumah Bunda Maria, yang dipercaya sebagai tempat Maria menghabiskan tahun-tahun terakhirnya.

👉 Tips traveler:

  • Datang pagi sebelum panas & ramai.
  • Bawa topi/sunscreen, karena area terbuka dan terik.
  • Sediakan waktu 2–3 jam biar puas keliling.


Rumah Bunda Maria (House of Virgin Mary)


Rumah Bunda Maria (House of Virgin Mary)

Nggak jauh dari Efesus, di Gunung Koressos, ada Rumah Bunda Maria. Tradisi meyakini bahwa Rasul Yohanes membawa Maria ke sini setelah penyaliban Yesus, dan beliau tinggal di rumah sederhana dari batu sampai akhir hidupnya.

Masuk ke dalam, suasananya hening. Banyak peziarah menyalakan lilin atau berdoa dalam keheningan. Di luar, ada dinding doa penuh kertas permohonan, serta mata air yang dipercaya membawa berkat.

Tempat ini bukan hanya sakral bagi Katolik, tapi juga dihormati dalam Islam karena Maryam adalah ibu Nabi Isa. Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II, dan Benediktus XVI semua pernah berziarah ke sini.

Buat gue pribadi, momen di sini bikin merinding. Saking sederhananya tempatnya, justru terasa begitu dekat dengan sosok Maria yang penuh kasih dan ketaatan.

Di dalam rumah tidak diperkenankan ambil foto maupun video. 

Video bisa disimak di sini:



 

Dari Benua Eropa ke Asia Hanya dengan Naik Ferry

Di hari berikutnya gue masih jelajahi Istanbul, tapi kali ini pengen nyobain ferry—transportasi favorit warga lokal yang sekaligus jadi pengalaman seru buat traveler. Dari hostel di area Sultan Ahmed, gue jalan kaki sekitar setengah jam ke Pelabuhan Eminönü. Buat gue sih aman, karena emang suka jalan, tapi kalau kalian merasa kejauhan, naik tram dari depan Hagia Sophia adalah opsi paling praktis.

Sampai di pelabuhan, gue beli Istanbulkart (warnanya merah), kartu e-money yang bisa dipake buat tram, bus, metro, dan ferry. Kartunya sendiri cuma 50 lira (±Rp30.000), dan tinggal top-up sesuai kebutuhan. Untuk naik ferry reguler, tarifnya cuma 18 lira (±Rp10.000) sekali jalan—murah banget!


Kebab Ikan di Istanbul yang jadi favorit gue

Nah, sebelum naik ferry, gue sempet nyobain kebab ikan Turki street food deket area pelabuhan. Dari luar keliatan biasa aja, cuma gerobak kecil, tapi pas gigitan pertama langsung bikin nagih. Roti pita hangat, dagingnya juicy, sayurnya segar, dan sausnya pas banget. Yang bikin kaget, abang penjualnya nanya, “Spicy or not?” Gue coba jawab “spicy” dengan ekspektasi bakal pedes ala kadarnya, eh ternyata beneran pedes! Lidah langsung kebakar tapi enak banget, bikin makan sambil keringetan di pinggir jalan. Rasanya bener-bener nambahin pengalaman otentik street food Istanbul.

Ferry di Pelabuhan Eminönü, Istanbul, Turki


Nggak lama, ferry dua tingkat datang. Bagian bawah indoor, bagian atas terbuka tanpa atap, cocok banget buat nikmatin pemandangan. Dari atas air, kota Istanbul kelihatan keren: gedung-gedung perkantoran, masjid megah, sampai hotel bintang lima berjajar di skyline. Intinya, gue yang tinggal di sisi Eropa bisa dengan gampang nyeberang ke sisi Asia hanya dengan ferry singkat.


Salah Satu Bangunan di Kadıköy, Turki

 

Kadıköy 

Begitu ferry merapat di Kadıköy, suasananya langsung beda. Kalau Sultan Ahmed dan Eminönü penuh turis dan sejarah, Kadıköy terasa lokal, muda, dan artsy. Di sini banyak café hipster, bar, toko buku indie, pasar tradisional, dan mural street art yang bikin vibes-nya vibrant banget.

Pelabuhannya selalu rame, jadi pintu utama penghubung Eropa–Asia. Begitu turun, disambut suasana pasar yang padat: ikan segar, buah-buahan, rempah, sampai Turkish delight. Jalan sedikit ke dalam, ketemu kawasan nongkrong anak muda yang penuh café dan kedai kopi. Katanya sih kalau mau ngerasain “real Istanbul life” tanpa terlalu banyak turis, Kadıköy tempatnya. Malam hari, kawasan ini makin hidup dengan bar dan musik jalanan.

👉 Tips traveler: Naik ferry sore ke Kadıköy itu asik banget—sekali jalan cuma 20 menit, tapi dapat view Bosphorus yang cantik + suasana lokal yang beda dari Istanbul sisi Eropa.

 

Cai (Teh) di Üsküdar, Turki 


Üsküdar 

Kalau Kadıköy vibes-nya modern, ramai, dan artsy, Üsküdar justru lebih religius, tenang, dan penuh masjid bersejarah. Dari sini, skyline sisi Eropa (Hagia Sophia & Blue Mosque) terlihat jelas dari kejauhan, apalagi saat sunset.

Masjid terkenal di sini antara lain Mihrimah Sultan Mosque dan Şemsi Pasha Mosque yang langsung menghadap laut. Suasananya adem banget, terutama saat sore hari ketika matahari tenggelam di balik selat—romantis sekaligus syahdu.

Ikon Üsküdar lainnya adalah Maiden’s Tower (Kız Kulesi), menara mungil di tengah Bosphorus yang penuh legenda romantis. Sekarang tempat ini difungsikan sebagai café/restoran dengan view 360° Istanbul.

Yang bikin pengalaman di Üsküdar makin khas adalah nge-teh ala Turki, teh di Turki disebut "Cai". Tehnya disajikan di gelas mungil berbentuk tulip dengan gula batu di sampingnya. Duduk di kursi-kursi kecil di pinggir jalan atau tepi laut sambil menyeruput teh panas rasanya super otentik—sederhana, tapi bener-bener kerasa vibe lokal Istanbul.

 Destinasi Ferry Lain 🚤

  • Princes’ Islands (Adalar): Ferry berangkat dari Kabataş atau Bostancı (kadang bisa dari Eminönü). Pulau paling populer: Büyükada.
  • Golden Horn (Haliç): Ada rute ferry menyusuri teluk Golden Horn, berhenti di Eyüp dekat Pierre Loti Hill.

 

Harga Tiket & Bosphorus Cruise

  • Ferry reguler: sekitar 15–18 lira (±Rp7.500–Rp10.000) sekali jalan.
  • Bosphorus Cruise: mulai dari 65–150 lira (±Rp35.000–Rp80.000), tergantung durasi & operator.

 

Tips Nikmatin Sunset di Bosphorus 

  1. Naik ferry reguler sore hari dari Eminönü ke Üsküdar/Kadıköy untuk view skyline Hagia Sophia & Masjid Biru.
  2. Pilih kursi di sisi barat dek luar biar dapet golden hour terbaik.
  3. Bawa jaket tipis, angin laut bisa lumayan dingin walau musim panas.
  4. Kalau mau lebih puas, ambil short Bosphorus tour jam 16.00–17.00 biar pas dapet cahaya sunset di atas air.

Untuk video bisa disimak di sini ya:


 

Sehari di Jantung Istanbul: Menyusuri Sultan Ahmed

Menjelajah Kawasan Sultan Ahmed, Jantung Wisata Istanbul

Akhirnya gue pindah ke hostel yang nyaman di area Sultan Ahmed, dan yang paling bikin lega: sekamar isinya cewek semua. Kawasan ini emang pusat turis banget, jadi selain hostel ada juga hotel berbintang sampai guesthouse kecil. Dari sini, hampir semua spot ikonik Istanbul bisa dijangkau dengan jalan kaki. Nah, berikut beberapa tempat yang gue kunjungi (dan wajib masuk list kalau main ke Istanbul):


Hagia Sophia, Istanbul, Turki

Hagia Sophia

Adalah salah satu bangunan paling ikonik di dunia. Pertama kali dibangun abad ke-6 oleh Kaisar Bizantium Justinianus I, gedung ini sempat jadi gereja terbesar Kristen Ortodoks selama hampir 1.000 tahun. Setelah penaklukan Konstantinopel tahun 1453, Sultan Mehmed II mengubahnya jadi masjid. Tahun 1935 dialihfungsikan jadi museum, lalu sejak 2020 kembali lagi sebagai masjid.

Interiornya luar biasa: mosaik Bizantium berpadu dengan kaligrafi Islami—simbol nyata pertemuan dua peradaban besar. Tapi ada catatan penting buat perempuan: wajib pakai penutup kepala dan pakaian sopan (celana panjang/rok di bawah lutut). Kalau lupa bawa, bisa beli semacam jubah panjang (kayak jas hujan) seharga 50 lira (±Rp30.000). Dan siap-siap, antreannya panjang banget!

👉 Tips traveler: Datang pagi banget pas baru buka, atau sore menjelang tutup biar antrean lebih singkat.

 

Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed), Istanbul, Turkey


Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed)

Berlokasi tepat di seberang Hagia Sophia, Blue Mosque adalah masjid megah yang dibangun Sultan Ahmed I pada abad ke-17. Disebut “Blue Mosque” karena lebih dari 20.000 ubin keramik biru İznik menghiasi interiornya, bikin suasana adem begitu masuk. Uniknya, masjid ini punya enam menara, beda dengan kebanyakan masjid lain yang hanya empat.

Masuk ke sini gratis, sama seperti Hagia Sophia. Bedanya, di sini perempuan wajib pakai penutup kepala hanya kalau mau masuk ke dalam area salat, dan penutup sudah disiapkan gratis di pintu masuk. Seperti masjid pada umumnya, alas kaki harus dilepas dan ditaruh di rak sepatu yang tersedia.

Masjid ini bukan sekadar destinasi wisata, tapi masjid aktif—jadi pengunjung baru bisa masuk di luar waktu salat. 

Mausoleum of Sultan Ahmed I


Mausoleum of Sultan Ahmed I

Masih di area Blue Mosque, ada Mausoleum of Sultan Ahmed I, tempat peristirahatan sang sultan bersama keluarganya. Bangunannya bergaya Ottoman dengan kubah besar dan ornamen kaligrafi indah. Di dalamnya berjejer sarkofagus hijau yang ditutup kain sutra bertuliskan ayat Al-Qur’an.

Aturan masuknya mirip masjid: wanita wajib pakai penutup kepala dan semua orang harus melepas sepatu. Suasananya tenang banget, jauh berbeda dengan keramaian di luar. Jujur, gue sempat takjub—seorang sultan yang membangun masjid luar biasa megah ternyata beristirahat di tempat sederhana. Jadi pengingat kuat bahwa sebesar apa pun kekuasaan, akhirnya semua kembali ke tanah.

 

Topkapi Palace

Kalau pengen tahu kemegahan Kesultanan Ottoman, Topkapi Palace adalah tempatnya. Dibangun Sultan Mehmed II setelah penaklukan Konstantinopel, istana ini jadi pusat pemerintahan dan kediaman sultan selama hampir 400 tahun.

Kompleksnya luas: ada paviliun, taman, hingga Harem yang penuh kisah intrik politik. Di dalamnya juga tersimpan koleksi berharga, mulai dari relik Islam (jubah Nabi Muhammad SAW, pedang sahabat) sampai perhiasan dan manuskrip kuno.

Sekarang Topkapi jadi museum, dan memang tiketnya lumayan mahal, jadi wajar kalau ada yang skip.

👉 Tips traveler:

  • Harga tiket: ±750 lira (Rp350.000) untuk area utama, ada biaya tambahan kalau masuk ke Harem.
  • Jam buka: Rabu–Senin, pukul 09.00–18.00, tutup Selasa.
  • Spot favorit: Harem, Treasury, dan balkon dengan view Selat Bosphorus.

 

Grand Bazaar

Kalau pengen merasakan vibe pasar tradisional Turki, mampirlah ke Grand Bazaar, salah satu pasar tertutup terbesar dan tertua di dunia dengan lebih dari 4.000 toko. Dari karpet, perhiasan emas, keramik Iznik, lampu mosaik, sampai baju dan souvenir ada semua di sini.

Waktu gue mampir, gue beli dua baju gamis buat nyokap. Dan lucunya, setiap masuk toko, si abang penjual super ramah: ada yang nawarin baklava, ada yang kasih teh, bahkan ada yang sampai cium tangan gue sebagai bentuk sopan santun. Awalnya kaget, tapi ternyata itu memang budaya mereka.

Berjalan di Grand Bazaar rasanya kayak masuk ke dunia lain—penuh warna, aroma rempah, dan teriakan pedagang.

👉 Tips traveler: Jangan lupa tawar-menawar, karena harga awal biasanya masih bisa turun jauh.

 

Spice Bazaar (Pasar Rempah)

Nggak jauh dari Grand Bazaar ada Spice Bazaar, pasar yang lebih kecil tapi nggak kalah menarik. Pasar ini udah ada sejak abad ke-17 dan terkenal dengan deretan rempah: saffron, kayu manis, kapulaga, sampai teh herbal warna-warni.

Selain rempah, banyak juga yang jual Turkish delight, kacang-kacangan, buah kering, dan teh Turki. Suasananya lebih santai dibanding Grand Bazaar, cocok buat nyantai sambil nyobain tester dari pedagang.

👉 Tips traveler: Buat pencinta masakan, beli saffron atau campuran bumbu khas Turki di sini—harganya relatif lebih murah.

Jadi, kalau nginep di area Sultan Ahmed, siap-siap aja dimanjain sama sejarah, budaya, dan keramahan khas Turki. Semua spot ikonik Istanbul ada di radius jalan kaki. Perfect banget buat solo traveler maupun grup!

Untuk yang mau menikmati video, sila di sini ya:


 

Petualangan Waspada di Istanbul: Solo Traveler Edition



Temen Nge-Bolang


Dari Ziarah Israel ke Solo Traveling di Turki

Setelah ziarah singkat ke Israel, gue akhirnya “cabut” dari grup dan mutusin untuk lanjut jalan sendiri ke Turki, sementara rombongan lain pulang ke Jakarta. Awalnya sempet kepikiran pengen extend di Israel, tapi ternyata ga bisa. Aturannya ketat, kalau masuknya bareng rombongan, keluarnya juga harus bareng, ga boleh ada anggota yang berkurang. Kebetulan transitnya di Istanbul, dan enaknya lagi paspor Indonesia udah bebas visa ke Turki sejak Desember 2021, jadi tanpa ribet gue langsung putusin buat eksplor negara yang dikenal sebagai jembatan antara Eropa dan Asia itu.

Drama di Bandara Ben Gurion, Israel

Cuma gue sendiri yang bawa backpack, sementara peserta lain koper semua. Alhasil backpack gue diperlakukan spesial, ga boleh langsung check-in kayak koper, tapi harus dibawa ke bagian khusus yang lokasinya ada di lantai 2, sedangkan gue saat itu bersama rombingan di lantai dasar. Setelah ketemu tempat yang dimaksud, deg-degan sih, apalagi di depan gue ada pasangan bule yang kopernya dibongkar total, iya koper bukan backpack kayak gue,  dan mereka ribet jelasin satu-satu isi barangnya pake bahasa tubuh karena ga bisa bahasa Inggris. Gue udah pasrah kalo harus ngalamin hal yang sama, tapi ternyata backpack gue cukup lewat mesin scanner. Malah dipermudah banget, thank God!

Belum selesai, pas di gate menuju ruang tunggu, petugas sempet curiga liat gue sendirian. Dia nanya, “Lo, sendiri?” sambil mantengin paspor. Untung gue jawab, “Gue sama rombongan yang udah di dalam.” Baru deh dia kasih lewat. Segitu curiganya orang sendirian di Israel!

Transit Istanbul: Backpack Hilang

Landing di Istanbul sekitar jam 9 malam, kita resmi pisah—grup lanjut penerbangan, gue keluar bandara. Sempat beli SIM card dulu, lalu menuju pengambilan barang. Eh, backpack gue ga nongol-nongol juga. Panik? Jelas! Setelah nanya ke lost & found, akhirnya harus nunggu 2 jam baru si backpack kesayangan muncul.

Kejar-kejaran Metro Terakhir

Rencana awal mau stay di bandara karena udah kemalaman, dikit lagi jam 12 malam, tapi karena ngerasa aman, gue putusin keluar cari metro ke pusat kota. Ketemu satu orang yang bilang metro terakhir udah mau berangkat, dan dia nawarin bareng. Sempet curiga juga, tapi akhirnya gue ikut. Karena ga punya kartu metro, dia tap-in pake kartunya sambil narik dan gandeng tangan gue, bilang ke petugas kalau gue “istrinya.” Gue antara bingung, waspada, tapi juga bersyukur bisa nyampe metro tepat waktu.

Di kereta yang sepi, dia cerita kalau dia tentara (walau menurut gue agak kurang meyakinkan sih hehe). Gue juga jaga-jaga dengan cerita kalau abang gue Kopassus—buat jaga image aja kalau-kalau dia punya niat buruk. Syukurnya aman sampai stasiun terakhir. Dia sempet nawarin ikut naik taksi bareng, tapi gue tolak halus dan akhirnya kita pisah jalan.

Malam Pertama: Hostel Dadakan

Udah hampir jam 2 pagi pas gue sampe ke hostel tujuan, ternyata full booked. Untung ada dua cowok Italia yang nawarin join kamarnya. Karena ada kasur single kosong, mereka kasih ke gue dengan harga spesial. Mereka sopan, cuma agak PR karena pintu kamar mandinya ga bisa nutup rapat, jadi gue harus ganjel pake kaki tiap kali masuk 🤦‍♀️.

Mereka ke Istanbul buat nonton Final Euro Cup (Man City vs Milan). Kita ngobrol pake Google Translate sampe jam 3 pagi, lalu gue maksa tidur karena besoknya harus cari hostel yang beneran gue booking di area Sultan Ahmed. Paginya gue pamit, sempet ngucapin makasih langsung, dan cabut dengan hati lega.


Refleksi

Perjalanan solo traveler cewek emang penuh drama—dari curiga sana-sini, backpack ilang, sampai nebeng kamar orang asing. Tapi di balik semua itu, gue ngerasa Tuhan jagain gue lewat “malaikat-malaikat” yang selalu muncul di saat tepat. Puji Tuhan, pengalaman pertama gue di Turki benar-benar jadi petualangan berkesan! Terima kasih abang yang udah bantuin gue naik metro dengan ngakuin gue sebagai "istri" nya dan 2 borndong dari Italia yang kasih gue nginap di hostel karena udah full dan kemalaman! 

 

Minggu, 14 September 2025

Perjalanan Iman di Galilea dan Saat Indonesia Raya Menggema di Danau Tiberias

Di Atas Danau Tiberias


Danau Tiberias

Tujuan berikutnya adalah Danau Tiberias atau Laut Galilea, danau air tawar terbesar di Israel. Luasnya sekitar 166 km² dengan panjang 21 km, lebar 13 km, dan kedalaman hingga 43 meter. Sejak zaman kuno, danau ini jadi pusat kehidupan nelayan, dan dalam Alkitab banyak banget mukjizat Yesus yang terjadi di sini—mulai dari berjalan di atas air, meneduhkan badai, sampai memberi makan lima ribu orang.

Pemandangannya indah banget: air biru tenang dengan bukit-bukit hijau di sekitarnya. Kami sempat naik kapal, dan sebelum ibadah dimulai, tiba-tiba tim kapal—orang Israel asli—memutar lagu Indonesia Raya. Merinding dan haru rasanya, betapa hangatnya persahabatan yang terasa di momen itu. Akhirnya, seluruh rombongan berdiri dan bersama-sama menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh semangat. Setelah itu, kami lanjut dengan pujian penyembahan dan perjamuan kudus, bikin hati serasa balik ke 2.000 tahun lalu saat Yesus ada di sini.

Setelah itu kami makan siang dengan menu khas: Ikan Petrus alias mujair jumbo goreng garing ditemani kentang goreng. Beberapa rombongan sempat cari sambal—ya namanya juga lidah Indonesia ya, tetap aja butuh pedas 😄. Tapi yang ada cuma saus cabai botolan. Walau begitu, suasananya bikin makan jadi spesial banget.


Gereja-Gereja di Tabgha


Gereja-Gereja di Tabgha

Dari Bukit Sabda Bahagia kami lanjut ke Tabgha, atau nama aslinya Heptapegon yang berarti “tujuh mata air.” Karena sulit diucapkan orang Arab, akhirnya berubah jadi Tabgha—begitu cerita guide kami.

Gereja Perkalian Roti dan Ikan menandai lokasi mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan. Di dalamnya ada mosaik lantai abad ke-5 bergambar dua ikan dan empat roti—ikonik banget dan asli dari zaman Bizantium.

Gereja Primasi Petrus adalah gereja kecil di tepi danau tempat Yesus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya. Di sini Yesus menyiapkan sarapan ikan bakar dan meneguhkan Petrus tiga kali dengan pertanyaan, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Di dalamnya ada batu Mensa Christi (Meja Kristus) yang dipercaya sebagai tempat Yesus meletakkan roti dan ikan.

Suasana Tabgha damai, hanya terdengar ombak kecil dan kicau burung. Guide sempat bercanda, “Di sini Yesus pernah jalan di atas air. Tahun lalu ada rombongan Pendeta Gideon yang coba jalan juga… sampai sekarang belum kedengaran kabarnya,” semua langsung ketawa.

Yang bikin makin berkesan, guide memberi kesempatan untuk salah satu rombongan membaca firman Tuhan, dan yang dipilih ternyata gue. Membaca Yohanes 21 di hadapan jemaat langsung di tempat Yesus meneguhkan Petrus, rasanya luar biasa—seperti ikut ambil bagian dalam kisah Injil yang hidup di tempat ini.


Sinagoga di Kapernaum – Tuhan Yesus was here


Kapernaum

Dari Tabgha, perjalanan lanjut ke Kapernaum, desa nelayan kuno yang sering disebut “kota Yesus.” Di sinilah Yesus mengajar di sinagoga, menyembuhkan orang sakit, termasuk ibu mertua Petrus, dan mengusir roh jahat.

Kata guide, Kapernaum zaman itu makmur karena hasil ikan dan sayur-mayur melimpah, plus letaknya strategis di jalur dagang internasional Via Maris. Kalau daerah lain masih tinggal di gua, orang Kapernaum sudah punya rumah batu—cukup modern untuk abad pertama. Guide bahkan sempat bercanda, “Ini daerah rumah orang kaya, depan sana Jalan Jendral Sudirman,” bikin semua ketawa.

Sekarang kita bisa lihat reruntuhan sinagoga abad ke-4 dengan tiang kapur putih kontras dengan batu basal hitam desa sekitarnya. Jalan di antara puing-puingnya bikin merinding, membayangkan Yesus sungguh ada di sini dua ribu tahun lalu, melayani orang-orang sederhana.


Peneguhan Baptis di Sungai Yordan


Sungai Yordan

Perhentian berikutnya adalah Sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Sekarang peziarah biasanya melakukan baptisan atau peneguhan baptis di lokasi Yardenit, dekat Laut Galilea. Tempat ini dikelola rapi dengan fasilitas lengkap, termasuk area khusus untuk baptisan.

Waktu gue turun ke air, warnanya jernih kehijauan, bukan keruh. Begitu nyemplung, ikan-ikan kecil langsung menyambut, rasanya kayak massage alami—geli-geli enak gitu. Tapi dasar sungainya agak licin, jadi harus hati-hati.

Untuk peneguhan baptis di sini nggak ada biaya masuk, cuma perlu sewa baju putih khusus seharga USD 15 per orang. Pengalaman itu benar-benar priceless. Saat nama gue disebut dan air sungai menyentuh kepala, air mata langsung ngalir—mewek beneran! Rasanya luar biasa, seolah menyatu dengan kisah Yesus yang dibaptis di sungai yang sama dua ribu tahun lalu. Sampai sekarang, setiap mengingatnya, bulu kuduk masih merinding.


Nikmati video nya di sini:



 

Dari Kedalaman Laut Mati ke Puncak Gunung Tabor

Hari Berikutnya: Qumran, Laut Mati, dan Gunung Tabor

Setelah perjalanan panjang di Yerusalem dan Betlehem, hari berikutnya kami melanjutkan ziarah ke beberapa tempat yang nggak kalah berkesan seperti berikut ini:


Qumran – penemuan Naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls) pada tahun 1947


Qumran

Qumran adalah situs arkeologi di tepi barat Laut Mati yang terkenal karena penemuan Naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls) pada tahun 1947. Gulungan kuno ini berisi teks Kitab Suci Perjanjian Lama dan tulisan komunitas Yahudi kuno Essenes yang hidup sekitar abad ke-2 SM sampai abad ke-1 M. Temuan ini dianggap salah satu penemuan arkeologi terpenting abad ke-20, karena membuktikan betapa telitinya penyalinan Kitab Suci selama ribuan tahun.

Guide kami menjelaskan bahwa di kawasan ini, dari Qumran sampai En Gedi, ada sekitar 2000 gua. Salah satunya yang paling terkenal adalah Gua ke-4, tempat asli ditemukannya gulungan Laut Mati. Naskah-naskah itu ditulis di atas perkamen, papirus, bahkan perunggu, dalam bahasa Ibrani, Aram, Yunani, hingga Nabatea. Bayangin aja, di tengah gurun gersang justru tersimpan warisan iman yang begitu berharga. Kini yang tersisa di Qumran adalah reruntuhan desa kuno—bekas tempat ibadah, ruang makan bersama, hingga saluran air ritual. Dari sini, kita bisa melihat langsung bukit kapur dengan gua-gua tempat gulungan disembunyikan, bikin merinding membayangkan bagaimana Tuhan menjaga firman-Nya tetap utuh.


Mengapung di Laut Mati 


Laut Mati

Dari Qumran, perjalanan dilanjutkan ke Laut Mati, danau air asin yang terletak di perbatasan Israel, Palestina, dan Yordania. Disebut Laut Mati karena kadar garamnya super tinggi—hampir sepuluh kali lebih asin daripada air laut biasa—sehingga nggak ada ikan atau makhluk hidup yang bisa bertahan. Justru karena itu, orang bisa dengan mudah mengapung di atas air tanpa harus berenang.

Pertama kali nyemplung, rasanya aneh tapi seru karena tubuh langsung ngapung otomatis. Gue bahkan sempat bantuin ibu-ibu di grup yang awalnya takut turun ke air. Gue yakinkan mereka, “meskipun nggak bisa renang, pasti tetap bisa ngapung kok.” Begitu mereka coba, beneran langsung ngambang, dan suasana jadi penuh tawa. Yang makin bikin seru, ibu-ibu mulai ngolesin lumpur Laut Mati ke wajah mereka sambil bercanda, katanya biar kulit makin halus.

Secara geografis, Laut Mati adalah titik terendah di permukaan bumi, sekitar 430 meter di bawah permukaan laut, dengan kedalaman lebih dari 300 meter. Pemandangan di sekitarnya luar biasa indah: bukit gurun berwarna cokelat keemasan kontras dengan air biru kehijauan. Sekarang bahkan sudah ada area glamping di tepi Laut Mati, bayangin aja bisa tidur di tenda mewah dengan view gurun dan danau unik ini—pengalaman yang pastinya beda banget. Sayangnya, Laut Mati terus menyusut karena penguapan dan pengalihan sumber air. Jadi berendam di sini bukan cuma wisata unik, tapi juga kesempatan langka menikmati salah satu keajaiban alam yang mungkin suatu saat hilang.


Gereja Transfigurasi, Gunung Tabor


Gunung Tabor

Perjalanan berlanjut menuju Gunung Tabor di Galilea Bawah, sekitar 17 km dari Nazaret. Gunung ini dikenal sebagai tempat terjadinya Peristiwa Transfigurasi Yesus. Di sinilah wajah Yesus bercahaya dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau di depan tiga murid-Nya—Petrus, Yakobus, dan Yohanes—sementara Musa dan Elia menampakkan diri. Lalu terdengar suara Allah Bapa, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.”

Di puncak Gunung Tabor berdiri Gereja Transfigurasi, karya arsitek Italia Antonio Barluzzi, yang dijuluki The Architect of the Holy Land. Dari luar tampak sederhana, tapi di dalamnya megah dan penuh makna. Interiornya dihiasi mosaik indah tentang Transfigurasi, sementara altar utamanya sederhana namun sarat makna rohani.

Perjalanan dari Laut Mati ke Gunung Tabor cukup panjang, sekitar 6–8 jam naik bus. Sepanjang jalan, pemandangan berubah drastis—dari gurun tandus menuju perbukitan hijau Galilea—bikin hati ikut berdebar. Karena jalannya sempit dan berliku, bus besar nggak bisa naik sampai puncak, jadi peziarah diantar dengan shuttle kecil. Praktis banget, bikin perjalanan tetap nyaman.

Yang paling berkesan adalah saat naik ke rooftop Gereja Transfigurasi. Dari sana terbentang pemandangan Lembah Yizreel yang luas, yang dalam Kitab Wahyu dikenal sebagai lokasi Armageddon, tempat pertempuran terakhir antara kebaikan dan kejahatan di akhir zaman. Melihat hamparan lembah itu bikin merinding, seolah diingatkan bahwa selain sejarah masa lalu, Tanah Suci juga menyimpan nubuat masa depan yang sudah tertulis dalam Firman Tuhan.


Nikmati video nya di sini: